Kepada kalian yang datang dengan langkah ringan, Aku menyapa dari kedalaman waktu.

Namaku tak penting — manusia menyebutku Rumskullaeken, atau Kvilleken. Tapi sebelum itu, aku hanya sebatang biji kecil yang jatuh ke tanah ketika langit masih dipenuhi burung-burung yang kini tak lagi disebut-sebut namanya. Aku tumbuh perlahan, menembus musim dingin yang menggigit dan musim panas yang lembut. Aku menyaksikan kabut pagi pertama yang menyelimuti tanah ini, dan mendengar nyanyian serigala yang kini hanya tinggal gema.

Tubuhku kini berongga, rapuh, dan ditopang oleh rantai besi. Tapi jangan salah — aku tidak runtuh. Aku hanya belajar cara baru untuk berdiri. Setiap retak di kulitku adalah catatan waktu, setiap lumut yang tumbuh adalah puisi diam tentang ketekunan.

Aku telah melihat manusia datang dan pergi. Petani, penyair, pejuang, hingga para sejoli yang sedang dimabuk asmara. Beberapa bersandar di batangku untuk beristirahat, yang lain hanya lewat tanpa sadar bahwa mereka sedang berjalan di bawah naungan sejarah. Pernah, tubuhku menjadi latar bagi film yang mengguncang batas moral pada zamannya. Aku tidak menghakimi. Aku hanya menyimpannya dalam ingatan.

Kini, aku dilindungi. Dikelilingi pagar dan jarak. Tapi aku tidak kesepian. Angin masih bercerita, burung masih bernyanyi, dan kadang, ada jiwa-jiwa seperti kalian yang datang bukan sekadar untuk melihat, tapi untuk mendengarkan.

Jika kalian bertanya apa yang telah kupelajari selama seribu tahun ini, jawabanku sederhana:
Bahwa kekuatan sejati bukanlah dalam kerasnya kayu, tapi dalam kesediaan untuk tetap berdiri, meski dunia telah berubah.